Kamis, 24 Desember 2015

PERNIKAHAN DINI




Faktor Penyebab Pernikahan Dini
Menurut RT. Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab utama dari perkawinan usia muda adalah:
1.      Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga.
2.      Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya.
3.      Sifat kolot orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat. Kebanyakan orang desa mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan anaknya begitu muda hanya karena mengikuti adat kebiasaan saja.

Terjadinya perkawinan usia muda menurut Hollean dalam Suryono disebabkan oleh:
1.      Masalah ekonomi keluarga.
2.      Orang tua dari gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki-laki apabila mau mengawinkan anak gadisnya.
3.      Bahwa dengan adanya perkawinan anak-anak tersebut, maka dalam keluarga gadis akan berkurang satu anggota keluarganya yang menjadi tanggung jawab (makanan, pakaian, pendidikan, dan sebagainya) (Soekanto, 1992 : 65).

Selain menurut para ahli di atas, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya perkawinan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat kita yaitu :
1.      Ekonomi
Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.
2.      Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih dibawah umur.
3.      Faktor orang tua
Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya.
4.      Media massa
Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian Permisif terhadap seks.
5.      Faktor adat
Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan.


Dampak Positif dan Negatif Pernikahan Dini

1.       Dampak positif
a.       Dukungan emosional: Dengan dukungan emosional maka dapat melatih kecerdasan emosional dan spiritual dalam diri setiap pasangan (ESQ).
b.      Dukungan keuangan: Dengan menikah di usia dini dapat meringankan beban ekonomi menjadi lebih menghemat.
c.       Kebebasan yang lebih: Dengan berada jauh dari rumah maka menjadikan mereka bebas melakukan hal sesuai keputusannya untuk menjalani hidup mereka secara finansial dan emosional.
d.      Belajar memikul tanggung jawab di usia dini: Banyak pemuda yang waktu masa sebelum nikah tanggung jawabnya masih kecil dikarenakan ada orang tua mereka, disini mereka harus dapat mengatur urusan mereka tanpa bergantung pada orang tua.
e.       Terbebas dari perbuatan maksiat seperti zina dan lain-lain.

2.      Dampak negatif
a.       Dari segi pendidikan: Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa seseorang yang melakukan pernikahan terutama pada usia yang masih muda, tentu akan membawa berbagai dampak, terutama dalam dunia pendidikan. Dapat diambil contoh, jika sesorang yang melangsungkan pernikahan ketika baru lulus SMP atau SMA, tentu keinginannya untuk melanjutkan sekolah lagi atau menempuh pendidikan yang lebih tinggi tidak akan tercapai. Hal tersebut dapat terjadi karena motivasi belajar yang dimiliki seseorang tersebut akan mulai mengendur karena banyaknya tugas yang harus mereka lakukan setelah menikah. Dengan kata lain, pernikahan dini dapat menghambat terjadinya proses pendidikan dan pembelajaran.
Selain itu belum lagi masalah ketenaga kerjaan, seperti realita yang ada didalam masyarakat, seseorang yang mempunyai pendidikan rendah hanya dapat bekerja sebagai buruh saja, dengan demikian dia tidak dapat mengeksplor kemampuan yang dimilikinya.
b.      Dari segi kesehatan: Dokter spesialis kebidanan dan kandungan dari Rumah Sakit Balikpapan Husada (RSBH) dr Ahmad Yasa, SPOG mengatakan, perempuan yang menikah di usia dini kurang dari 15 tahun memiliki banyak risiko, sekalipun ia sudah mengalami menstruasi atau haid. Ada dua dampak medis yang ditimbulkan oleh pernikahan usia dini ini, yakni dampak pada kandungan dan kebidanannya. penyakit kandungan yang banyak diderita wanita yang menikah usia dini, antara lain infeksi pada kandungan dan kanker mulut rahim. Hal ini terjadi karena terjadinya masa peralihan sel anak-anak ke sel dewasa yang terlalu cepat. Padahal, pada umumnya pertumbuhan sel yang tumbuh pada anak-anak baru akan berakhir pada usia 19 tahun.
Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan, rata-rata penderita infeksi kandungan dan kanker mulut rahim adalah wanita yang menikah di usia dini atau dibawah usia 19 atau 16 tahun. Untuk risiko kebidanan, wanita yang hamil di bawah usia 19 tahun dapat berisiko pada kematian, selain kehamilan di usia 35 tahun ke atas. Risiko lain, lanjutnya, hamil di usia muda juga rentan terjadinya pendarahan, keguguran, hamil anggur dan hamil prematur di masa kehamilan. Selain itu, risiko meninggal dunia akibat keracunan kehamilan juga banyak terjadi pada wanita yang melahirkan di usia dini. Salah satunya penyebab keracunan kehamilan ini adalah tekanan darah tinggi atau hipertensi.
Dengan demikian, dilihat dari segi medis, pernikahan dini akan membawa banyak kerugian. Maka itu, orangtua wajib berpikir masak-masak jika ingin menikahkan anaknya yang masih di bawah umur. Bahkan pernikahan dini bisa dikategorikan sebagai bentuk  kekerasan psikis dan seks bagi anak, yang kemudian dapat mengalami trauma.
c.       Dari segi psikologi: Menurut para psosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.

Pandangan Agama Islam Terhadap Pernikahan Dini

Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al Bajuri menuturkan bahwa  agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur.  
Agama dan negara terjadi perselisihan dalam memaknai pernikahan dini.Pernikahan yang dilakukan melewati batas minimnal Undang-undang Perkawinan, secara hukum kenegaraan tidak sah.Istilah pernikahan dini menurut negara dibatasi dengan umur.Sementara dalam kaca mata agama, pernikahan dini ialah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh.
Terlepas dari semua itu, masalah pernikahan dini adalah isu-isu kuno yang sempat  tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali muncul ke permukaan.Hal ini tampak dari betapa dahsyatnya benturan ide yang terjadi antara para sarjana Islam klasik dalam merespons kasus tersebut.
Pendapat yang digawangi Ibnu Syubromah menyatakan bahwa agama melarang pernikahan dini (pernikahan sebelum usia baligh). Menurutnya, nilai esensial pernikahan  adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh.Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan.
Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks.Memahami masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam menyikapi pernikahan Nabi Saw dengan Aisyah (yang saat itu berusia usia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Saw yang tidak bisa ditiru umatnya.
Sebaliknya, mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini.Pemahaman ini merupakan hasil interpretasi dari QS.al Thalaq: 4. Disamping itu, sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula pernikahan dini merupakan hal yang lumrah di kalangan sahabat.
Bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah umur sudah menjadi konsensus pakar hukum Islam.Wacana yang diluncurkan Ibnu Syubromah dinilai lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak dianggap.Konstruksi hukum yang di bangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan mudah terpatahkan.
Imam Jalaludin Suyuthi pernah menulis  dua hadis yang cukup menarik dalam kamus hadisnya. Hadis pertama adalah ”Ada tiga perkara yang tidak boleh diakhirkan yaitu shalat ketika datang waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami ketika (diajak menikah) orang yang setara/kafaah”.
Hadis Nabi kedua berbunyi, ”Dalam kitab taurat tertulis bahwa orang yang mempunyai anak perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera dinikahkan, maka anak itu berdosa dan dosa tersebut dibebankan atas orang tuanya”.

Kamis, 29 Oktober 2015

MAHAR (MAS KAWIN) DALAM PERNIKAHAN


Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar kawin yang besar kecilnya ditetapkan  atas persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu harus diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqh sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam aqad pernikahan.

            Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai wanita yang hukumnya wajib.Dengan demikian, istilah shadaqah, nihlah, dan mahar merupakan istilah yang terdapat dalam al-Qur’an, tetapi istilah mahar lebih di kenal di masyarakat, terutama di Indonesia.

Di Arab pada zaman pra-Islam, pembayaran mahar diharuskan kepada suku atau keluarga pengantin wanita sebagai imbalan atas hilangnya kemampuan melahirkan keturunan daripadanya dan sebagai sarana untuk menciptakan kestabilan ikatan dan hubungan antara dua keluarga, telah jelas bahwa sebelum datangnya Islam pun mahar sudah diakui di Arab sebagai milik sah pengantin wanita sendiri. 

 Mahar merupakan salah satu ciri khas Hukum Perkawinan Islam yang hokum dan prakteknya sudah diatur dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.



 Pengertian Mahar

Kata “mahar” berasal dari bahasa Arab yang termasuk kata benda bentuk abstrak atau masdar, yakni “Mahran” atau kata kerja, yakni fi’il dari “mahara-yamaharu-maharan”. Lalu, dibakukan dengan kata benda mufrad, yakni al-mahr, dan kini sudah diindonesiakan dengan kata yang sama, yakni mahar atau karena kebiasaan pembayaran mahar dengan mas, mahar diidentikkan dengan maskawin.

Di kalangan fuqaha, di samping perkataan”mahar”, juga digunakan istilah lainnya, yakni shadaqah, nihlah, dan faridhah yang maksudnya adalah mahar.Dengan pengertian etimologi tersebut, istilah mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan yang hukumnya wajib, tetapi tidak ditentukan bentuk dari jenisnya, besar dan kecilnya dalam al-Quran maupun Al-Hadits.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan mahar itu dengan pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.Definisi ini sesuai dengan tradisi yang berlaku di Indonesia bahwa mahar itu diserahkan ketika berlangsungnya akad nikah.

Menurut Sayyid Sabiq (1992:53), mahar adalah harta atau manfaat yang wajib diberikan oleh seorang mempelai pria dengan sebab nikah atau watha’. Penyebutan mahar hukumnya sunnat, baik dari segi jumlah maupun bentuk barangnya dalam suatu akad perkawinan.Apa pun barang yang bernilai adalah sah untuk dijadikan mahar. Demikian pula menurut Taqiyuddin (t.t.:37) bahwa penyebutan mahar hukumnya sunnat. Jika tidak disebutkan, nikanya tetap sah dan suami wajib membayar mahar mitsil.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa mahar adalah pemberian pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai wanita berupa harta atau manfaat karena adanya ikatan perkawinan.Bentuk  dan jenis mahar tidak ditetapkan dalam hukum perkawinan Islam, tetapi kedua mempelai dianjurkan melakukan musyawarah untuk menyepakati mahar yang akan diberikan. Apabila pihak mempelai wanita sepakat dengan mahar yang ditawarkan oleh pihak mempelai pria, bentuk dan jenisnya dapat ditetapkan oleh kedua belah pihak.

Dengan demikian mahar adalah merupakan suatu kewajiban yang harus dibayarkan suami kepada istrinya.Kewajiban membayar mahar ini disebabkan dua hal, yaitu ada akad nikah yang sah dan terjadi senggama sungguhan (bukan karena zina).

Cara-cara pelaksanaan pembayaran mahar sebagai berikut :
a  .       Mahar dibayar dengan cara kontan
b  .      Mahar dibayar dengan cara di tangguhkan sampai batas waktu yang disepakati.
c  .       Mahar dibayar dengan cara dicicil sampai lunas, dan
d  .      Mahar dibayar dengan cara pemberian uang muka, sisanya diangsur atau sekaligus perjanjian.


    Dasar Hukum Membayar Mahar

Dasar wajibnya menyerahkan mahar diantaranya ditetapkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 4 
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا 
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
dan surat An-Nisa’ ayat 25
فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ
“. . .kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya;”

Selain ayat-ayat di atas, pembahasan tentang mahar juga terdapat dalam sutar An-Nisa’ ayat 21-22, surat Al-Baqarah ayat237, dan surat Al-Maidah ayat 5.
           

Dasar hukum  kedua adalah hadis, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah,
قاَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ النِّسَاءِ أَحْسَنُهُنَّ وُجُوْهاً وَأَرْخَصُهُنَّ مُهُوْراً
“Sebaik-baiknya wanita, yang cantik wajahnya dan paling murah maharnya.“ (Hadis Riwayat Ibnu Majjah).

عَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيْعَةَ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ  فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَرَضِيْتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ  قَالَتْ : نَعَمْ. قَالَ: فَأَجَازَهُ
“Dari Amir bin Rabi’ah, Sesungguhnya seorang perempuan dari suku Fazarah telah menikah dengan maskawin dua sandal, maka Rasulullah SAW. bertanya kepada perempuan itu, sukakah engkau menyerahkan dirimu serta rahasiamu dengan dua sandal itu? Jawab perempuan itu, Ya, saya ridha dengan hal itu. Maka Rasulullah SAW. membiarkan pernikahan tersebut.” (H.R. Ahmad, Ibnu Majjah dan Tiemidzi).

Rasulullah SAW. bersabda :
تَزَوَّجْ وَلَوْ بِخَاتِمٍ مِنْ حَدِيْدٍ
“Kawinlahengkausekalipundenganmaskawincincindaribesi”.(HR. Bukhori)
           

Ketentuan mahar di Indonesia ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam. Bunyi selengkapnya adalah:

Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.

Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.

Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya

Pasal 33
1  .      Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.
2  .      Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan menjadi utang (calon) mempelai pria.

Pasal 34
1  .      Kewajiban penyerahan mahar bukan merupakan rukun dalam pernikahan.
2  .      Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya pernikahan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terutang, tidak mengurangi sahnya pernikahan.

Pasal 35
1  .      Suami yang menalak istrinya qobla ad-dukhul (yakni sebelum ‘berhubungan’, ed.) wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
2  .      Apabila suami meninggal dunia qobla ad-dukhul seluruh mahar yang telah ditetapkan menjadi hak penuh istrinya.
3  .      Apabila perceraian terjadi qobla ad-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsl.

Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.

Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama.

Pasal 38
1  .      Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi (calon) mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas.
2  .      Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.



Pembayaran mahar tidak termasuk rukun dan syarat dalam perkawinan, tetapi tidak ada nikah yang sah jika tidak disertai pembayaran mahar. Dengan demikian, salah satu syarat sahnya pernikahan adalah adanya akad atau ijab kabul, dan dalam pengucapan ijab kabul harus disebutkan pula mengenai mahar yang diberikan oleh calon suami. Hal itu berarti kedudukan mahar tidak berbeda dengan kedudukan suarat-syarat dalam menunjukkan kemauan mengadakan ikatan bersuami istri.Perlambang itu diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang melangsungkan akad.Inilah yang merupakan sighat dalam pernikahan.


      Kadar (Jumlah) Mahar

Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin.Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya.Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya.Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya.

Karena merupakan hak mempelai wanita, pihak mempelai wanita berhak memilih dan menentukan maharnya.Ia berhak meminta mahar dalam jumlah besar atau kecil, dan berhak mengembalikan segala sesuatu kepada pihak mempelai laki-laki. Ia pun berhak meminta mahar dalam bentuk emas, rumah, tanah, mobil, dan sebagainya. Hanya yang paling berkah adalah permintaan mahar yang murah dan sederhana.
اَبْرَكُهُنَّ اَقَلُّهُنَّ مَهْرًا
“Yang paling membawa berkah adalah wanita yang paling sedikit maharnya.” (Muttafaqun ‘Alaih).


Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Abu Tsaur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan Tabi’in berpendapat bahwa mahar tidakmengenalbatas tinggi rendah, besar dan kecil. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.

Sebagian Ulama’ mewajibkan penentuan batas tinggi rendahnya mahar, kemudian Ulama’ itu berselisih dalam dua pendapat.Pendapat pertama yang dikemukakan oleh Imam Malik dan pengikutnya, sedangkan pendapat kedua dating dari Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya.

Imam Malik berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu harus mencapai seperempat dinar atau perak seberat tiga dirham timbangan, atau barang yang sebanding dengan tiga dirham tersebut.Imam Malik berkata bahwa paling sedikit mahar itu harus mencapai empat puluh dirham.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa mahar paling sedikit sepuluh dirham.Menurut yang lain cukup lima dirham. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa mahar paling sedikit empat puluh dirham.

Perbedaan pendapat tentang batas minimal (terendah) mahar tersebut disebabkan oleh dua faktor.
1   .      Ketidak jelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis pertukaran, dimana yang dijadikan pegangannya adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti halnya dalam jual beli dan kedudukannya sebagai suatu ibadah, yang sudah ada ketentuannya. Hal tersebut ditinjau dari segi bahwa dengan mahar itu memberikan wewenang kepada seorang lelaki untuk memiliki jasad seorang wanita untuk selamanya, sehingga perkawinan itu mirip dengan pertukaran. Akan tetapi, bila ditinjau dari segi adanya larangan mengadakan persetujuan untuk meniadakan mahar, itu mirip dengan ibadah.
2   .      Adanya pertentangan qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar, dengan mahfum hadis yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya pembatasan adalah bahwa pernikahan adalah ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada ketentuan-ketentuannya.


      Macam-macam Mahar

Mahar Musamma
Mahar musamma adalah mahar yang telah ditetapkan bentuk dan jumlahnya dalam sighat akad.Mahar musaimaada dua macam, yaitu :
     1)      Mahar musamma mu’ajjal, yakni mahar yang segera diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya. Menyegerakan pemberian mahar hukumnya sunnah.
      2)      Mahar musamma ghair mu’ajjal, yakni mahar yang pemberiannya ditanggauhkan.

Dalam kaitannya dengan pemberian mahar, wajib hukumnya membayar mahar musamma apabila telah terjadi dukhul.Apabila salah seorang dari suami atau istri meninggal dunia sebagaimana disepakati oleh para ulama; apabila telah terjadi khalwat (bersepi-sepi), suami wajib membayar mahar.

Mahar Mistil
Mahar mitsil ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah yang biasa diterima oleh keluarga pihak istri karena pada waktu akad nikah jumlah mahar belum ditetapkan bentuknya.

Allah SWT berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 236 :
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ

“tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Q.S. Al-Baqarah ayat 236)


Menurut Imam Malik dan para pengikutnya, berdasarkan ayat di atas, seorang suami boleh memilih salah satu dari tiga kemungkinan. Apakah ia menceraikan istrinya tanpa menentukan maharnya atau menentukan maharnya, sebagaimana yang diminta oleh para istri. Atau ia menentukan mahar mitsil-nya, sebagaimana pada ayat di atas dijelaskan secara rinci pada kalimat, “Hendaklah kalian berikan suatu mut’ah menurut kemampuanmu.” Demikian pula dalam surat An-Nisa’ ayat 4:
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (Q.S. An-Nisa ayat 4)


Berdasarkan ayat di atas, kemungkinan pertama sebagaimana yang dikemukakan olehImam Malik bertentangan dengan ayat bersangkutan, sedangkan kemungkinan kedua dipandang akan memberatkan pihak bekas suami, apabila pihak istri meminta jumlah mahar yang tinggi.

Kemungkinan ketiga, yaitu membayar mahar mistil dipandang lebih adil dan bijaksana karena hal itu didasarkan kepada kemampuan pihak suami dengan mengacu pada mahar yang biasa diterima oelh pihak istri. Hal ini diperkuat oleh hadis yang menyebutkan kasus seorang suami yang menceraikan istrinya setelah terjadi dukhul, sementara ia belum menetapkan jumlah maharnya. Begitu pula seorang suami yang meninggal sebelum terjadi dukhul, sedangkan ia belum sempat menetapkan maharnya yang ahrus diberikan kepada istrinya.

Kaitannya dengan penundaan pembayaran mahar, para fukaha bebeda pendapat.Sebagian fukaha melarang menunda pembayaran mahar, sementara sebagian ulama membolehkan. Imam malik menegaskan bahwa: boleh menunda pembayaran mahar, tetapi apabila suami hendak menggauli istrinya hendaknya ia membayar separuhnya. Cara penundaan pembayaran mahar harus waktunya dan tidak terlalu lama.oleh karena itu, batas waktunya harus disepakati oleh kedua belah pihak (Ibnu Rusyd, 1990:394)

Dianjurkan untuk menunda pembayaran mahar dengan batas waktu yang jelas dan tidak sampai tibanya ajal salah satu pihak, baik pihak suami atau istrinya.Akan tetapi, Al-Auza’I (1990:394) berpendapat bahwa menunda pembayaran mahar dibolehkan meskipun sampai kematian atau terjadinya perceraian.Penundaan pembayaran mahar tidak terbatas sebagaimana dalam jual-beli karena penundaan pembayaran mahar bersifat ibadah.Yang terpenting, suami tetap wajib membayar.

 
الدين الحق Copyright © | Template designed by Liza Burhan | SEO by Islamic Blogger Template